Dari perjalanan saya ke Bali kemarin menyisakan banyak hal, kenangan karena memang saya sudah beberapa kali pergi ke Bali, berikutnya adalah bisa jadi sebuah empati. Kenapa saya sebut empati, karena saya banyak menemui perubahan. Perubahan apa itu, yang jelas perubahan bisnis.
Dulu kami pergi ke pasar seni Sukawati dan Ubub atau Celuk, di kedua pasar seni itu ramai turis lokal dan asing yang sibuk berbelanja kepada pengrajin dan pedagang tradisional. Namun, melihat kondisi terakhir, sepertinya terjadi pergeseran besar-besaran. Kalau sekarang, mau belanja barang2 seni ndak perlu jauh-jauh lagi, cukup di Denpasar sudah bertebaran mal-mal oleh-oleh yang cukup besar dan megah berfasilitas AC dengan manajemen modern.
Pikiran saya lantas, bagaimana nasib pengrajin dan pedagang tradisional di ketiga tempat itu. Hukum pasar jelas menjawab, mereka akan sunset alias mengalami penurunan omset tajam. Begitulah hukum bisnis, tatkala ada tawaran baru yang lebih mudah, lebih murah, lebih nyaman, lebih dekat dan sebagainya, maka konsumen akan berpindah kelain hati.
Terus mau diapakan pedagang tradisional tersebut. Dibiarkan biar mati suri karena berhadapan heead to head dengan pemilik modal besar, atau dilakukan proteksi oleh Pemda setempat. Proteksi bisa jadi langkah awal melindunginya, namun ini bukanlah solusi jangka panjang, karena tidak mungkin selamanya dilindungi oleh regulasi.
Kalau versi saya, jawabnya adalah inovasi. Melakukan perubahan dan positioning baru.
Tidak mudah bagi pengusaha pas-pasan dari sisi ilmu, modal dan jaringan harus bersaing langsung dengan pemiliki kapital besar. Bunuh diri namanya. Salah satu langkah smart yang bisa dilakukan adalah mencari ceruk pasar dan menggarapknya mati-matian secara brutal.
Ceruk pasar atau nich market seringkali tidak mampu disentuh pengusaha besar, karena kekhususannya maupun keunikannya. Inilah yang harus terus digali oleh pengusaha tradisional. Dan kekhasan ini sebenarnya bersifat dinamis, bisa jadi saat ini menjadi daya ungkit bisnis, namun disuatu saat kekhasan ini bisa jadi tidak bernilai karena sudah ada kompetiror yang menjalankan secara serupa. Jadi mencari keunggulan merupakan proses terus menerus, tiada henti dan setiap pebisnis berkewajiban terus mendefinisikan apa itu nilai keunggulan dari bisnis yang dijalankan agar tetap survive.
Merenungi nasib dan pasrah bukanlah solusi, yang memang sebenarnya peran pemerintah memikirkan nasib rakyatnya, namun saya lebih mendorong bagaimana kita mencari solusi sendiri atas masalah yang kita hadapi. Rasanya itu justru memberikan energi buat kita.
Saya sendiripun pada dasarnya juga bersaing dengan begitu banyak pengusaha garmen lainnya yang barangkali justru lebih dulu, lebih pengalaman dan lebih besar. Namun itu bukanlah menjadi alasan bagi saya untuk tidak bertumbuh. Dan cara bertumbuh bagi pengusaha pemula adalah mencari ceruk dan memaksimalkan kreatifitas. Itu yang perlu terus dikembangkan.
Layaknya David melawan Goliath, harus memaksimalkan kecerdasan otak daripada otot.
Mari bertahan dan maju melawan gempuran produk-produk asing yang menghadang.
Pasti bisa kalau kita sungguh-sungguh.
Selalu ada peluang, selalu ada jalan...
Amir Fauzi
Anda pengin bisnis jilbab, kami bantu mewujudkannya.
No comments:
Post a Comment