Aku menulis cerita ini dari kisah-kisah yang dituturkan dari Mbakku sendiri. Seperti kayak kisah legenda, tidak ada tanggal dan tidak ada bukti otentik semacam prasasti yang menjelaskan tahun berapa itu berlangsung. Ini mungkin karena kelemahan dokumentasi para orang tua dulu :-)
Alkisah, buyut saya bernama Hj Ratongah. Saya tidak pernah ketemu dengan beliau, sehingga saya tidak bisa membuat personifikasi seperti apa sosok beliau ini. Yang saya kenal dari cerita beliau menikah dengan H. Ismail yang mana H. Ismail ini berasal dari Tulung Agung. Kisah H. Ismail ini tergolong unik, masa mudanya dihabiskan nyantri di Surabaya. Karena keluarganya dari kalangan yang tidak mampu, maka untuk membiayai mondok di Surabaya ia harus membeli bambu kemudian dirakit disungai Berantas, Tulung Agung dan dinaiki rakit bambu tersebut sampai di Surabaya.
Sesampai di Surabaya polongan bambu tersebut diurai dan dijual di sana. Hasil penjualan digunakan untuk mondok. Saat kehabisan uang, dia mencari uang sebagai marbot masjid Ampel Surabaya. Sungguh cerita yang bikin merinding bulu kuduk.
Tidak tahu ceritanya, bagaimana kok kemudian H. Ismail ini kemudian menikah dengan Hj. Ratongah, buyut saya yang tinggal di Kasim Wlingi Blitar. Alhasil, dari pernikahan itu menurunkan banyak anak, termasuk Mbah putri saya yang barusan meninggal, Hj. Muri'ah tanggal 28 Desember 2012 lalu.
Saya akan mengupas dari sisi bisnisnya, sehingga konon menjadikan dirinya jadi orang "terkaya" di kecamatan Wlingi. Ketika mbah saya cerita tentang kejayaannya, saya sering tergelitik apa sebenarnya bisnis yang digeluti buyut saya ini sehingga saya dapat mereka ulang kisah suksesnya.
Dari informasi yang saya dapat, buyut saya ini bisnisnya sederhana sekali, menjual minyak, gula merah dan tembakau serta daun suruh. Untuk menjualnya, beliau membuat lapak di perempatan jalan desa. Demikian beliau memulai usaha. Usahanya tumbuh dari kecil kemudian membesar. Salah satu informasi yang saya dapat lagi, selain berbisnis buyut saya ini lihai mengelola uang. Dari untung yang didapatkan, maka diinvestasikan ke tanah dan sawah. Demikian terus-menerus sehingga pada suatu saat tahun 60-an sama pemerintah sampai dilarang beli sawah karena sudah terlalu luas sawahnya.
Selain itu, gaya hidupnya hemat. Orang jawa bilang gemi. Bahkan jika ada nasi atau beras yang jatuh dilantaipun harus diambilnya. Kasihan, nanti berasnya menangis katanya. Alkisah, karena kekayaannya tersebut, sampai ayamnya sangat banyak, untuk memberi pakan harus memukul kentongan sehingga ayamnya yang berkeliaran di kebun berhamburan menuju tempat pakan.
Namun, walaupun terbiasa hidup hemat, buyut saya ini royal kalau membiayai anak-anaknya mondok atau nyantri, sehingga semua anak dan menantunya lulusan pesantren semua.
Nah, dari sekilas kisah ini, apa yang dapat kita pelajari. Berbisnislah walau harus memulai dari usaha kecil. Berikutnya, investasikan keuntungannya. Selanjutnya, hiduplah dibawah garis kemampuan belanja kita dan terakhir, bersedekahlah.
Pelajaran menarik berikutnya adalah kenapa kejayaan itu "tidak" menurun ke anak-anaknya. Ini pertanyaan menarik. Setelah saya amati, karena kejayaan itu anak-anaknya terbuai dengan kekayaan orang tuanya. Selain itu, buyut saya ini sepertinya hanya fokus memberikan bekal anaknya dengan mengirim ke pesantren saja tanpa menularkan ilmu bisnisnya dengan mengajak langsung anak-anaknya berbisnis. Sehingga diakhir cerita, kejayaan yang dibangun buyut saya tersebut akhirnya mengalami gradasi saat masuk di anak dan cucunya. Mereka masih hidup layak dari warisan tanah yang luas, namun dari sisi skills bisnis belum terampil.
Ini pelajaran berhaga buat kita yang memiliki bisnis, jangan kita hanya sibuk dengan bisnis kita tanpa membangun pondasi yang kokoh bagi penerus bisnis yang dibangun.
Demikian, semoga sharing ini bermanfaat.
Amir Fauzi
No comments:
Post a Comment