Tumbangnya Produk Lokal











Alhamdulillah, dalam situasi yang serba sulit usaha kami masih bertahan. Namun bukan berarti ini mewakili kawan-kawan pengusaha garment lainnya yang saat ini bertahan habis-habisan melawan masukknya produk asing dengan kategori yang sama dan lemahnya daya beli.

Sebagai pelaku UKM, silaurahmi antar sesama pengusaha garmen rutin saya jalani. Mulai sekedar bertemu, sharing dan transaksi bisnis. Dalam setiap sharing, kita selalu berbagi kabar bagaimana kondisi bisnis saat ini.

Terus terang mengejutkan, rata-rata kolega saya banyak yang jatuh dimulai dengan menurunnya omset yang sangat tajam. Penurunan omset ini seperti efek domino, yang kemudian diikuti dengan pengurangan produksi, pengurangan pegawai sampai penjualan aset dan penutupan usaha.

Kondisi ini mulai menampakkan muramnya saat masuk tahun 2015, saat lebaranpun tak beranjak naik bahkan sampai dolar membumbung tinggi dikisaran 14.700. Sungguh peristiwa yang bertubi-tubi.

Sebagai pelaku UKM yang modalnya umumnya bercampur dengan dapur keluarga, sungguh goncangan cashflow tersebut sangat berpengaruh terhadap masa depan usaha.

Permasalahannya sebenarnya ada dimana, saya akan coba mengurai sebagai bentuk sharing dan pembelajaran.

1. Liberalisasi Produk Import
Sejak rezim pemerintahan yang baru, kami amati barang masuk ke negeri ini seperti air bah. Bahkan produknya sama persis semisal kerudung instan, koko dan baju2 lainnya yang mana merupakan produk yang sudah jadi.

Harusnya, pemerintah jika peduli dengan UKM, harusnya membatasi pada import bahan baku saja, karena jika import produk jadi maka negeri ini harus membayar jam kerja asing sehingga berdampak menipisnya peluang usaha dan meledaknya pengangguran.

Maraknya produk impor, membuat produsen tergoda. Daripada membuat produk yang kalah bersaing dari sisi harga dan mungkin mutu, lebih baik beralih sebagai pedagang yang lebih rendah resikonya.

Jika ini terjadi, kerugian terbesar bagi aset bangsa, karena orang yang punya skills bermigrasi menjadi pedagang sehingga menyebabkan menurunnya kompetensi dan ketahahan produksi negara. Masalahnya apakah negeri ini akan terus jadi importir dengan hanya menukarnya dengan hasil bumi yang semakin terbatas.

2. Nilai Dolar yang Liar
Naiknya nilai dolar dibatas kewajaran menimbulkan harga bahan baku tak terkendali. Sebagai contoh, kebutuhan kapas 96% masih impor dengan kurs dolar dgn pusat importir di Singapura.

Wajar saja jika dolar melambung, maka harga bahan baku tekstil melonjak tinggi sehingga menyebabkan ongkos produksi meninggi.

3. Daya Beli Menurun
Selain itu, dengan naiknya dolar, banyak perusahaan menutup usahanya dan sebagian bertahan dengan menerapkan pengetatan pengeluaran.

Dampaknya, daya beli masyarakat menurun drastis, sehingga mereka hanya mengkonsumsi kebutuhan pokok saja, sedang kebutuhan primer dan tersier akan dikesampingkan terlebih dahulu. Kondisi ini menekan usaha yang berbasis pada produk sekunder atau tersier baik dalam usaha sandang, pangan dan papan.

4. Desentralisasi Produksi
Hal yang menarik belakangan ini adalah adanya desentralisasi produksi. Apa itu, yaitu kalau dahulu kota tertentu memiliki industri khas yang menjadi icon kota tersebut, kini konsep itu berubah drastis seiring tidak adanya tata kota yang baik.

Sebagai contoh, Bandung, Tangerang dan Bekasi sebagai salah satu sentra industri tekstil dan garmen, kini dengan naikknya UMR yang tidak terkendali dan banyaknya resiko bisnis baik dari demo maupun pungli, maka para pengusaha melakukan migrasi pabrik kedaerah-daerah diluar Jakarta dan kota besar lainnya.

Semisal, daerah Subang, Purwakarta, Salatiga, Garut dan lain sebagainya. Bahkan banyak grosir besar melakukan produksi di kota-kota luar jawa.

Dampaknya, merusak ekosistem. Semisal Jepara yang dulu dikenal dengan ukiran kayunya, penduduknya mulai masuk industri garmen dan meninggalkan profesinya sebagai pengrajin.

Tidak terkelolanya dengan baik sentra-sentra industri akan menimbulkan high cost dan resiko ketahanan produksi dalam jangka panjang...

5. Mentalitas Budak & Konsumtif
Terus terang sulit mengucapkan kata-kata ini, tapi itulah faktanya. Bangsa ini hanya berfikir short term alias instan. Yang penting dapat untuk saat ini, besuk entahlah. Sehingga dengan konsep berpikir seperti ini tidak pernah berpikir secara strategis mensikapi perubahan yang sangat drastis. Asal bisa makan selesai...

Meskipun bertahan dalam kondisi sekarang cukup sulit, namun jika semua berbondong-bondong jadi bangsa pembeli, maka yang terjadi adalah secara perlahan bangsa ini akan menjadi budak asing dengan menukar kekayaan alam yang makin hari makin menipis.

Pengangguran akan bertebaran, orang berbondong menjadi TKI dan yang jelas akan marak kejahatan. Miris melihatnya, tapi itulah faktanya.

Pesan yang bisa saya sampaikan, bertahan sekuat tenaga menghadapi badai ini, dengan atau tanpa pemerintah. Posisi ini memang sulit, tapi jika tidak kita akan menjadi kuli di negeri sendiri.


Amir Fauzi



No comments: