Lambaro, Minggu, 16 Januari 2005
Pagi hari, selepas sholat subuh & makan pagi, kami menyiapkan barang bantuan berupa selimut, sarung, handuk dan kaos serta obat-obatan yang akan didistribusikan kepada para pengungsi. Hari ini tim pencarian pegawai Telkom dan distribusi bantuan bergabung menjadi satu tim. Setelah semuanya siap, kami berangkat menuju Jantho, ibukota kabupaten Aceh Jaya yang berjarak sekitar 70 km dari Banda Aceh dan terletak di dataran tinggi sebelah utara Banda Aceh..
Pagi hari, selepas sholat subuh & makan pagi, kami menyiapkan barang bantuan berupa selimut, sarung, handuk dan kaos serta obat-obatan yang akan didistribusikan kepada para pengungsi. Hari ini tim pencarian pegawai Telkom dan distribusi bantuan bergabung menjadi satu tim. Setelah semuanya siap, kami berangkat menuju Jantho, ibukota kabupaten Aceh Jaya yang berjarak sekitar 70 km dari Banda Aceh dan terletak di dataran tinggi sebelah utara Banda Aceh..
Selama perjalanan menuju Jantho, kami melihat betapa banyak posko pengungsi di tepi jalan. Kebanyakan di halaman Masjid, sekolah atau di tanah lapang. Disamping itu, di sepanjang perjalanan kami menyaksikan betapa Aceh sebenarnya memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Alamnya sungguh subur dan elok dengan aneka flora dan fauna. Hamparan gunung menjulang tinggi, seakan negeri ini tak merasakan adanya musibah besar yang baru saja melanda. Sepanjang jalan terlihat lalu lalang truk-truk bantuan atau konvoi militer dengan senjata siap tembak. Sebuah ironi....., negeri yang sangat kaya dan makmur, namun senantiasa dirundung malang dengan adanya konflik yang berkepanjangan.
Tengah hari sesampainya di Jantho, kami melihat beberapa pos pengungsi. Kemudian kami melepas lelah di kantor Telkom Jantho. Selepas sholat Dzuhur, kemudian didistribusikan bantuan ke posko pengungsi yang menampung sekitar 3500 pengungsi yang dikelola oleh Pemda setempat, sembari mencari pegawai Telkom beserta keluarga yang mungkin ikut mengungsi di Jantho. Terllihat pos pengungsi penuh dengan tempelan foto korban tsunami, sungguh suasana yang sangat mengharukan. Kami juga melihat posko yang dikelola ala kadarnya, mengingat semua warga nampak berduka dengan adanya musibah ini.
Selepas mendistribusikan bantuan dan mencari data karyawan, kami kembali ke Banda Aceh. Dari petugas posko didapatkan informasi, bahwa banyak pengungsi yang mengungsi di daerah pegunungan, dengan pertimbangan dapat lebih aman jika ada gelombang susulan ataupun gempa. Maka daerah Jantho merupakan wilayah alternatif bagi para pengungsi dari Banda Aceh, baik dari daerah Lok Nga, Ulheu-Lheu dan sekitarnya.
Kami sampai di Posko Lambaro menjelang senja, sesuai kesepakatan rapat kemarin malam, sore ini bersepakat posko akan di pindah dari Lambaro ke Area Pelayanan (AP) Banda Aceh di Jalan Daud Beureuh. Senja itu juga, diiringi hujan lebat , kami melakukan packing dan migrasi ke AP yang berjarak sekitar 10 km ke arah kota Banda Aceh.
Ketika Maghrib tiba, migrasi posko sudah usai. Kami lihat, posko baru ini masuk ke daerah bencana, namun dengan efek yang tidak terlalu parah. Posko baru terletak sekitar 300 m dari Masjid Baiturrahman. Terlihat di sekitar gedung, masih banyak genangan dan lumpur bekas tsunami. Namun Kantor AP tidak mengalami kerusakan yang serius dan relatif aman dari amukan gelombang tsumami. Namun untuk daerah luar posko, terlihat kerusakan cukup besar, dan terlihat Mall Pirak yang runtuh akibat gempa dan diduga masih ada 26 jenazah yang belum dapat dievakuasi.
Sebagaimana biasa, malam harinya kami melakukan meeting harian untuk evaluasi kerja hari ini dan rencana kerja esok hari. Seperti biasanya, ketua relawan, Sdr. Herman Barna memimpin rapat rutin. Selapas rapat kawan-kawan beristirahat menyiapkan tenaga untuk esok harinya. Dalam benak kami malam itu timbul pertanyaan, mengapa kita musti pindah dari Lambaro, bukankah di Lambaro jauh lebih dekat dengan pasar dan akses dengan relawan lain, sedangkan di AP jauh lebih mengenaskan, karena ada di lokasi bencana. Dari informasi yang kami dapat, ternyata di Lambaro posko kami masuk dalam daerah basis GAM. Karena faktor keamanan, maka kamipun harus pindah lokasi ke AP. Banda Aceh, 17 Januari 2005 Pagi hari selepas makan pagi, relawan dibagi menjadi dua. Aku ikut droping bantuan ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sekaligus mencari anak karyawan yang kuliah di Unsyiah. Lokasi Unsyiah ada di wilayah Darussalam, untuk mencapai wilayah tersebut kami melewati kanal banjir. Di sepanjang perjalanan terlihat proses evakuasi terus berlangsung. Lalu-lalang truk dan alat berat masuk ke jantung kota. Tampak, evakuasi serius dilakukan di Komplek Brimob, dan betapa mengenaskannya ketika melihat beberapa jenazah tergeletak di tepi jalan. Kami sempat melihat Komplek Brimob ini benar-benar hancur.
Sesampai di Unsyiah yang merupakan kampus terbesar di Aceh dengan jumlah mahasiswa sekitar 30.000, kami langsung menuju posko pengungsi Unsyiah. Pengungsian Unsyiah yang dikelola oleh universitas, dan para mahasiswa yang selamat dipusatkan di Masjid Unsyiah. Dari data yang ada kami meneliti satu-persatu sekitar 3.500 pengungsi yang dikelola oleh relawan Unsyiah dan dibantu dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas lainnya. Kami sempatkan juga masuk ke tenda-tenda pengungsi, kondisinya sungguh sangat menyedihkan. Rata-rata mereka tidak memiliki barang dan hanya mengandalkan distribusi bantuan dari para dermawan.
Di sekitar tenda pengungsi juga dibuat jamban dan tempat mandi darurat. Bisa dibayangkan kondisinya, apalagi beberapa hari ini kota Banda Aceh diguyur hujan lebat. Setelah diteliti satu persatu, tidak kami dapatkan data anak karyawan, lantas kegiatan di akhiri dengan menyerahkan bantuan berupa handuk, sarung, selimut dan kaos kepada koordinator posko.
Selepas dari Posko pengungsian Unsyiah, kami disarankan mencari data ke Pema (Pemerintah Mahasiswa) Unsyiah. Di pos Pema terlihat banyak mahasiswa secara bergantian mendaftar sekaligus memberikan laporan terakhir tentang kondisinya dan kondisi temannya. Setelah antri, kami telusuri satu-persatu sampai akhirnya tidak di temukan data tersebut, nampaknya belum sepenuhnya mahasiswa melapor ke posko Pema. Sambil pulang kami perhatikan bangunan megah Unsyiah, sayang nampaknya gedung-gedung megah tersebut tak terurus karena adanya musibah besar tersebut.
Malam harinya, kembali diadakan rapat rutin. Hari ini merupakan hari istimewa bagi kami, karena malam ini ada serah terima ketua Posko relawan dari Divre I ke Divre VI. Sesuai dengan kesepakatan, maka akupun ditunjuk menjadi ketua posko. Pada malam itu juga 11 relawan dari Divre I pamitan, karena esok harinya mereka harus pulang ke daerah masing-masing setelah seminggu bertugas di Banda Aceh.
Mengendalikan Posko Relawan merupakan satu hal yang baru, apalagi untuk daerah yang benar-benar tidak kami ketahui. Berbekal dengan informasi dari relawan sebelumnya, kamipun mulai menata aktifitas relawan, mulai dari dapur umum, transportasi, distribusi bantuan, pencarian data karyawan dan persiapan kunjungan Direksi ke Banda Aceh. Alhamdulillah, pengalaman beberapa hari ini menjadi modal penting dalam mengendalikan posko. Malam itu juga disiapkan rencana esok hari. Menjelang tidur, tiba-tiba dikejutkan oleh gempa tengah malam. Kawan-kawan yang saat itu sudah tidur kemudian dibangunkan dan sempat panik, namun gempa tak berlangsung lama.dan kembali normal. Hari-hari ditemani gempa ternyata menjadi hal biasa paska tsunami ini. Banda Aceh, Selasa, 18 Januari 2005 Pagi setelah sholat subuh dan makan pagi, kegiatan posko disibukkan dengan mengantar relawan yang berangkat ke Bandara. Hari ini 11 relawan berencana pulang. Aku ikut mengantar ke Bandara Blangbintang, sekitar 15 km dari pusat kota. Perjalanan pagi ini masih sangat sepi, mengingat warga pusat kota sudah eksodus ke pengungsian yang dianggap lebih aman.
Sesampai di Bandara, ada kendala teknis, sehingga dari 11 relawan yang dapat berangkat hanya 6 orang, selebihnya harus bermalam lagi di Banda Aceh. Kami melihat, bandara Blangbintang memang belum berfungsi secara normal. Maklum, akibat bencana ini jadual penerbangan nyaris tidak teratur, sehingga ticketing menjadi masalah tersendiri.
Kegiatan dilanjutkan dengan droping kompor ke Unsyiah oleh beberapa kawan-kawan, mengingat kompor merupakan perabot penting di pengungsian. Karena keterbatasan alat transportasi dimana sebagian mogok, sore itu waktu kami manfaatkan bersama kawan-kawan jaringan untuk mengakses Pelabuhan Malahayati. Malahayati adalah sebuah pelabuhan arah timur Banda Aceh dengan jarak sekitar 60 km.
Sepanjang jalan menuju Malahayati, terlihat daerah tepi pantai wilayah Darussalam yang sangat mengenaskan. Tampak kuburan massal serta sisa-sisa tsunami yang dibuang ke wilayah sekitar pantai. Sepertinya pantai utara Banda Aceh akan dijadikan kota mati dan ditanami bakau, sehingga pusat kota akan bergeser kearah Selatan. Ditepi jalan terlihat lagi kuburan massal dan beberapa jenazah dalam kantong plastik yang belum sempat dikuburkan. Belum lagi truk-truk besar yang mengangkut sisa-sisa tsunami.
Meski daerah ini baru saja dilanda gelombang dahsyat, di sepanjang pantai Aceh terlihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Kami saksikan indahnya pantai Aceh, sangat mirip dengan pantai Bali dan Lombok yang pernah aku singgahi. Sekali lagi terbayang olehku keindahan Bumi Aceh ini. Dari jauh tampak dua kapal induk dengan helikopter lalu-lalang. Nampaknya kapal induk asing singgah tak jauh dari bibir pantai. Di sepanjang jalan kami melihat pos-pos pengungsi, namun sayang kami tak dapat mengaksesnya secara langsung dan memberikan bantuan karena harus masuk ke arah pegunungan dengan jarak rata-rata 500 m atau lebih serta dengan jalan sempit dan terjal. Disatu sisi, kamipun harus patuh pada pesan posko sebelumnya untuk hati-hati memasuki daerah tanpa ada pemandu.
Sore hari sampailah kami sampai di Malahayati. Pelabuhan ini nyaris seperti pelabuhan mati. Terlihat kapal Malaysia sedang bersandar, nampaknya sedang membongkar bantuan. Tampak pula tangki Pertamina yang sangat besar tergeser 300 m dari tempat asalnya. Juga terlihat dinding-dinding gedung yang jebol, dan lainnya nyaris tak berbekas. Sungguh luar biasa tsunami kali ini. Setelah memastikan kerusakan alat produksi di Malahayati, kamipun langsung pulang. Sepanjang perjalanan rombongan kami lebihbanyak berdiam, menerawang dengan pikiran masing-masing tentang kejadian dahsyat yang terjadi ujung negeri ini.
Menjelang Isya, kami sampai di posko. Sepanjang perjalanan terasa betapa sepi dan sunyi jalan yang dilalui. Listrik padam, belum lagi bau mayat yang masih menyengat. Sungguh seperti kota mati saja. Malam harinya, sebagaimana agenda rutin dilakukan rapat. Rapat hari ini difokuskan pada penyiapan kunjungan Direksi ke Banda Aceh guna memberikan sumbangan bencana. Momentum ini kami pandang sangat penting mengingat rakyat Aceh menanyakan kontribusi Telkom selama terjadinya bencana. Sehingga kamipun memandang, agenda Dirut harus dapat optimal dan dapat memberikan citra positif bagi Telkom dalam membantu rakyat Aceh. Dari informasi, Dirut akan memberikan sumbangan berupa sebuah ambulan, obat-obatan dan 1000 paket sandang. Dan barang bantuan saat ini sudah dalam perjalanan menuju Banda Aceh melalui darat.Bersamboeng
Amir Fauzi
Owner
Fatta Niaga
=======================================
www.bursajilbab.com : Grosir Jilbab Super Murah
www.bajubayimurah.com : Pusat Kulakan Baju Bayi
www.ebajumuslim.com : Grosir Baju Muslimah Murah
www.wafanakids.com : Grosir Baju Muslim Anak
www.grosirkoko.com : Grosir Baju Takwa Bandung
www.jihadiclothing.com : Kaos Distro Muslim
www.sekolahsablon.com : Spesialis Kursus Sablon Kaos
=======================================
No comments:
Post a Comment