Pakar Tapi Ambyar















Melanjutkan seri pemberdayaan sebelumnya. Sebenarnya potensi untuk menjadi hebat anak bangsa ini luar biasa. Rekam jejaknya bisa dicari jejaknya, ada begitu banyak juara olimpiade, menjadi lulusan terbaik di universitas di luar negeri dan beberapa ajang unjuk kompetensi lainnya. Ini menunjukkan, anak bangsa ini bukan kaleng-kaleng.

Namun, kembali lagi, kepakaran itu tak banyak mengubah nasib bangsa ini. Setelah lulus dan balik lagi ke negeri ini, seakan jejak kehebatan itu lenyap ditelan bumi. Kembali menjadi manusia biasa pada umumnya. Why ?

Lebih dekat lagi, negeri ini meluluskan begitu banyak sarjana pertanian, kehutanan, kelautan, perikanan dan banyak disiplin ilmu lainnya. Tapi ketika kita tengok, semuanya serba impor, gula, kedelai, jagung, daging beku, ikan beku, jeruk, apel, bawang putih dan sebagainya. Why ?

Dimana gerangan benang kusutnya. Kenapa potensi lahan yang subur, laut yang luas dan hutan tropis yang kaya flora dan fauna, seakan tak memberi dampak bahwa negeri ini bisa lebih makmur.

Ada sebuah narasi, bahwa maju mundurnya sebuah bangsa, tak cukup hanya hebat, tapi juga harus baik. Bahkan konon, derajat baik harus lebih tinggi dari kadar hebatnya.

Punya skills hebat, punya pengetahuan hebat, tapi punya prilaku buruk, tak membuatnya jadi bangsa hebat. Pun demikian, prilakunya baik, jujur, berintegritas dan loyal, tapi tak ada kompetensi. Sami mawon.

Saya cerita yang lebih detail berdasarkan pengalaman empiris agar bisa ditangkap lebih riil.

Begini, seorang pengusaha bengkel, yang saya tahu, lebih pakar tukang bengkelnya daripada ownernya. Seorang owner pabrik mie instan, ternyata punya orang yang ahli dalam meracik bumbunya. Seorang owner clothing yang hebat, ternyata tak banyak yang jago desain dan sablon. Atau seorang owner butik sepatu, tak banyak yang bisa bikin upper dan pasang sol sepatu.

Artinya apa, kepakaran dalam suatu bidang, itu tidak berdiri sendiri. Dia akan memperoleh hasil maksimal ketika berkolaborasi dengan kompetensi yang lainnya. Selama ia berdiri sendiri, selamanya ia tidak akan berkembang.

Hampir semua kepakaran teknis, akan menjadi besar jika dihubungkan dengan kepakaran dalam bidang manajemen. Seorang ahli sol sepatu, ia akan bernilai tinggi ketika dia masuk ekosistem produksi sepatu. Namun saat berdiri sendiri, ia akan hidup seadanya.

Nah, umumnya yang saya temui, banyak pakar dengan jam kerja yang panjang, tetap saja hidup segan mati tak mau. Stagnan. Salah satunya adalah, lemahnya dalam ilmu manajemen. Ilmu manajemen dalam bahasa sederhananya adalah bagaimana hasil karyanya bisa secara berkesinambungan terkoneksi dengan kebutuhan pasar.

Dalam konteks yang lebih sederhana, bagaimana mampu sebuah kepakaran dalam sekala kecil, diubah dan dipacu untuk berkembang dalam skala industri yang lebih besar. Ini hanya bisa terjadi jika ada sentuhan manajemen. Dan masalahnya, kemampuan ini minim dimiliki para pakar itu.

Andaikan para pakar itu mau belajar atau menemukan orang yang bisa menjadi media menyambungkan kepakarannya dengan pasar, maka yang terjadi bak bumi dan langit. Dan mayoritas, inilah permasalahan utama industri lokal yang dihadapi. Memang tidak sesimpel ini, tapi ini yang ada dalam kendali kita. Ada faktor kebijakan impor, proteksi dan peran pemerintah lainnya yang diluar kendali.

Kalaupun satu kunci yang perlu diupgrade bagi para pakar itu, maka kunci itu adalah manajemen, kalaupun diminta satu kunci dari manajemen, maka kunci itu adalah kemampuan memasarkan produk. Jadi kemampuan sales adalah ibu dari segala kemampuan sebelum kepakaran itu bermula.

Maka, sudah pas benar, jika nabi terakhir diutus dengan profesi sebagai seorang pedagang. Pada kenyataannya, membuat produk jauh lebih mudah dari menjualnya. Menjadi pakar lebih mudah daripada melakukan komersialisasi atas kepakarannya bukan ?

No comments: