Sang Guru Peradaban













Belum lama hari pendidikan berlalu, dan selalu saja hari pendidikan jadi momentum mengingat para guru-guru kita yang acapkali digelari pahlawan tanpa tanda jasa. Jasanya besar, tapi memang tak ada tanda resminya, yang ada adalah kenangan-kenangam indah yang tak bisa dihapus dari kenangan dari muridnya.

Pendidikan adalah awal pencerahan dan tanda dari sebuah kebangkitan suatu kaum. Lihatlah, negeri-negeri yang terbelakang, pengungkit bangkitnya selalu dan selalu saja dari pendidikan. Kebangkitan pendidikan mengawali sebelum kebangkitan-kebangkitan lainnya. Ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Jepang dengan restorasi meiji, india dengan mengirim mahasiswa ke Amerika besar-besaran saat PM Rao, China tak kalah banyak yang belajar di barat maupun di Ausie. Negeri jiran kita, Malaysia banyak mengirim mahasiswanya ke PT di Indonesia sebelum bertebaran ke barat.
Makanya sangat wajar, jika revolusi kemerdekaan negeri ini dimulai dari para cendekiawan. Coba lihat Sukarno, Hatta, Agus Salim, Tjokroaminoto, Syahrir dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka terpelajar dan terlahir bukan dari kaum priyayi.

Hari-hari ini, kesadaran belajar sudah menggembirakan, baik dari orang tua maupun murid, walau umumnya masih sebatas didaerah perkotaan. Tapi perlu diapresiasi perkembangan ini. Menariknya lagi, dikotomi antara sekolah umum dan agama juga semakin menipis. Orang semakin sadar, bahwa sekularisasi pendidikan tak banyak membawa manfaat. Orang menginginkan anaknya didik paripurna antara akhlak dan otak.

Menilik perkembangaan bangsa ini, sejatinya pendidikan lama justru dimulai dengan perkembangam pesantren. Tahukan Anda bahwa kedaton Giri di Gresik adalah markas sunan Giri membina para santrinya yang kebanyakan dari Indonesia Timur.
Tradisi ini kemudian berkembang dengan lahirnya banyak pesantren dikawasan Jawa Timur. Sebut saja pesantren Tambak Beras, Lirboyo, Plosomojo, Asembagus, Denanyar dan banyak pesantren tua lainnya.

Bersyukur, jika jaman penjajahan, pesantren sering dapat stigma ekstrimis dan kaum terbelakang. Hari ini berubah wajah menjadi pesantren yang mampu beradaptasi dengan dunia modern.
Hari ini, eksplorasi teknik mendidik sudah sedemikan maju. Kadang kita silau atas kemajuan bangsa lain dan kemudian mencopy habis sisten pendidikan yang ada di barat. Turunan metode pendidikan dan pemberdayaan ini juga kian beragam, dari klasikal sampai digital. Dari training, mentoring, konseling dan coaching.

Namun, ada satu hal penting sebagai seorang muslim, jangan sampai kehilangan deleg. Sebagus dan sehebat pendidikan yang ada, tak akan mampu menandidingi sistem pendidikan yang diberikan Sang Guru Peradaban.

Bayangkan, dalam kurun didik sekitar 23 tahun saja, dari tangan dinginnya, lahir panglima-panglima besar dunia, politisi-politisi hebat dunia, mujahid-mujahid kelas wahid, ahli ilmu, ahli strategi dan ahli-ahli lainnya dalam berbagai bidang.

Bayangkan, dari tangan dinginnya, Romawi dalam genggaman anak didiknya. Persia dalam binaan anak didiknya. Semua itu bermula dari negeri yang tandus dengan budaya gurun yang tak pernah tersentuh peradaban apapun. Mereka tidak berminat menaruh dan memperhatikan negeri jazirah itu.
Di momentum ramadhan ini, sangat bagus mengurai dan mengkaji sistem yang ampuh ini.

Sebagaimana mendaki gunung, jalan termudah adalah meniru pendaki yang telah sampai pada puncaknya. Pun demikian, sebagai seorang guru, cara terbaik melahirkan generasi kelas wahid adalah meniru contoh metode yang telah teruji dalam sejarah peradaban manusia.
Ia adalah metodologi sang Nabi yang tak pernah usang ditelan zaman.
Selamat hari pendidikan nasional. Selamat hari pengungkit kebangkitan suatu bangsa.

No comments: