Terjebak Hutang




















Dapat sharing pagi ini dari kawan yang telah lama melakukan pembinaan UKM dengan melakukan bantuan CSR korporasi. Ada fenomena penting terkait dengan perilaku UKM yang akhirnya membedakan krisis 2008 dan 2020.

Salah satunya adalah masuknya lembaga pendanaan ke sektor UKM. Lugasnya lembaga pemberi hutang kepada UKM.

Pada tahun 2008 UKM kurang begitu dilirik bankir, karena mereka cenderung memberikan kredit kepada korporasi besar yang telah teruji memberikan profit yang konsisten. Krisis 1998 dan 2008 merubah paradigma tentang kredit perbankan, ternyata dalam kondisi krisis ternyata UKM adalah salah satu entitas bisnis yang mampu bertahan. Sedangkan korporasi besar banyak yang tumbang bahkan lenyap.

Fakta ini dijadikan acuan perbankkan untuk masuk ke UKM dan menyalurkan kredit. Rupanya, gayung bersambut, banyak UKM yang tadinya zero hutang, tertarik masuk memanfaatkan fasilitas kredit untuk membesarkan usahanya.

Kemudahan fasilitas kredit dari perbankkan ternyata seperti candu. Ada banyak UKM akhirnya germar berhutang, bahkan tidak hanya untuk keperluan usaha, tetapi juga untuk kebutuhan konsumtif.

Satu dekade betikutnya, hutang ibarat sesuatu yang lumrah bahkan memaksa membuat ketagihan para UKM. UKM tanpa hutang bisa dipandang sebagai lazy company alias UKM pemalas.

Dan boom...
Corona tanpa disangka-sangka merusak ekosistem bisnis. Banyak usaha stuck bahkan tutup. Masalahnya, walau usaha tutup, bunga bank tetap buka tanpa adanya kompromi. Seperti biasanya, tak mau tahu apapun yang terjadi. UKM yang terjerat bank menjeritlah sejadi-jadinya....

Hikmahnya...
Hindarilah berutang semampu mungkin, jikalaupun terpaksa, hanya untuk kebutuhan produktif. Sungguh bunga bank itu kejam. Awalnya datang manis muka, setelah itu datang bak hantu yang menghantui hidupmu. Bahkan sampai mati pun tak tertebus sebelum diberesin...

Riba, benar-benar ngeri banget...

No comments: